Proses Pembuatan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pengertian Peraturan Daerah Sesuai
dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan
Peraturan Daerah (Perda) adalah “peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama
Kepala Daerah”. Definisi lain tentang Perda berdasarkan
ketentuan Undang- Undang tentang Pemerintah Daerah adalah “peraturan perundangundangan yang
dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik
di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota”. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Perda dibentuk dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas
pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing masing
daerah.
Sesuai ketentuan Pasal 12
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung
kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi. Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal
dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernuratau Bupati/Walikota.
Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur atau Bupati/Walikota dan DPRD
menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah
rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda
yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan
persandingan.
Program penyusunan Perda dilakukan
dalam satu Program Legislasi Daerah, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang
tindih dalam penyiapan satu materi Perda. Ada berbagai jenis Perda yang
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kota dan Propinsi antara lain:
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Tata Ruang Wilayah Daerah;
d. APBD;
e. Rencana Program Jangka Menengah
Daerah;
f. Perangkat Daerah;
g. Pemerintahan Desa;
h.
Pengaturan umum lainnya.
Pembentukan Perda Yang Baik. Pembentukan
Perda yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundangundangan sebagai berikut:
a. kejelasan
tujuan,
b.
kelembagaan atau organ pembentuk yang
tepat,
c.
kesesuaian antara jenis dan materi muatan,
d. dapat
dilaksanakan
e. kedayagunaan
dan kehasilgunaan
f. kejelasan
rumusan
g.
keterbukaan
B. Perumusan Masalah
A. Bagaimana cara Identifikasi Isu dan Masalah dalam pembuatan Perda?
B. Bagaimana
Identifikasi legal baseline atau landasan
hukum, dan bagaimana peraturan daerah (Perda) baru dapat memecahkan masalah?
C. Bagaimana Penyusunan Naskah
Akademik?
D. Bagaimana Prosedur Penyusunan
Peraturan Daerah?
E.
Bagaimana Mekanisme Pengawasan Perda?
C. Tujuan
Tujuan
Pembuatan Makalah ini adalah untuk mengetahui tentang :
1.
Identifikasi Isu
dan Masalah substansi dari Peraturan Daerah.
2. Identifikasi
legal baseline
atau landasan hukum, dan bagaimana peraturan daerah (Perda) baru dapat
memecahkan masalah.
3. Penyusunan Naskah
Akademik.
4. Prosedur Penyusunan
Peraturan Daerah yang meliputi:
a. Proses
Penyiapan Raperda di lingkungan DPRD.
b. Proses
Penyiapan Raperda di Lingkungan Pemerintahan Daerah.
c. Proses
Mendapatkan Persetujuan DPRD.
d. Proses
Pengesahan dan Pengundangan
e. .
Lembaran Daerah dan Berita Daerah
5.
Mekanisme
Pengawasan Perda
D.
Ruang Lingkup
Pembuatan Peraturan Daerah ini adalah
dalam ruang lingkup kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
E. Dasar Hukum
Setelah 25 Juni 2004
1. Undang-undang tentang
Pembentukan Perundang-undangan, yang telah di setujui oleh Pemerintah dengan
DPR, tanggal 25 Mei 2004
2. Tata Tertib DPRD Propinsi atau
Kabupaten/Kota.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara
umum, terdapat beberapa langkah yang
perlu dilalui dalam menyusun suatu Perda baru. Uraian dari masing-masing
langkah dapat bervariasi, namun secara umum seluruh langkah ini perlu dilalui.
·
Langkah 1 : Identifikasi isu
dan masalah.
·
Langkah 2 : Identifikasi legal
baseline atau landasan hukum, dan bagaimana peraturan daerah (Perda) baru
dapat memecahkan masalah.
·
Langkah 3 : Penyusunan Naskah
Akademik.
·
Langkah 4 : Prosedur
Penyusunan Peraturan Daerah
a.
Proses Penyiapan Raperda di
lingkungan DPRD.
b.
Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan
Pemerintahan Daerah.
c.
Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD.
d.
Proses Pengesahan dan Pengundangan
e.
Lembaran Daerah dan Berita Daerah
·
Mekanisme
Pengawasan Perda
Alur proses penyusunan Perda
dapat digambarkan pada bagan di bawah:
1. Identifikasi Isu dan Masalah
|
5. Penyelenggaraan
Konsultasi
Publik:
• Revisi
Rancangan Perda
apabila
diperlukan
• melakukan konsultasi
publik tambahan
|
6. Pembahasan di DPRD
|
2. Identifikasi legal baseline
atau landasan hukum, dan
bagaimana Perda baru dpt
memecahkan
masalah
|
3. Penyusunan naskah
akademik
|
4. Penulisan Raperda
|
7. Penetapan Perda
|
A. Identifikasi Isu dan
Masalah
Para perancang Perda perlu membuat Perda atas nama dan
untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil adalah
mengajukan pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat. Permasalahan dapat mencakup banyak hal, antara lain degradasi dan
deviasi sumber daya, konflik pemanfaatan antar pihak yang mengakibatkan
keresahan sosial, dan lain-lain. Selain mengidentifikasi masalah, perancang
Perda harus pula mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah (akar masalah)
dan pihak-pihak yang terkena dampak dari berbagai masalah tersebut. Perancang
Perda hendaknya memahami konsekuensi-konsekuensi yang mungkin akan timbul dari
penanganan masalah-masalah tertentu. Misalnya saja, apakah semua pihak akan
diperlakukan secara adil? Apakah ada pihakpihak tertentu yang sangat
diuntungkan dan di lain sisi mengorbankan pihak lain? Dengan hanya menangani
sejumlah permasalahan, apakah tidak menimbulkan permasalahan baru?
Bagaimana mengidentifikasi masalah tersebut. Ada beberapa
teori yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi masalah tersebut.
Melakukan identifikasi masalah dengan metode ROCCIPI (Rule, Opportunity,
Capacity, Communication, Interest, Process, dan Ideology)22.
a. Rule (Peraturan)
·
Susunan kata dari peraturan
kurang jelas atau rancu.
·
Peraturan mungkin memberi
peluang perilaku masalah.
·
Tidak menangani
penyebab-penyebab dari perilaku bermasalah.
·
Memberi peluang pelaksanaan
yang tidak transparan, tidak bertanggung jawab, dan tidak partisipatif, dan
·
Memberikan kewenangan yang
tidak perlu kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan bagaimana mengubah
perilaku bermasalah.
b. Opportunity (Kesempatan)
·
Apakah lingkungan di
sekeliling pihak yang dituju suatu undang memungkinkan mereka berperilaku
sebagaimana diperintahkan undang-undang atau tidak?
·
Apakah lingkungan tersebut membuat perilaku
yang sesuai tidak mungkin terjadi?
c. Capacity (Kemampuan)
· Apakah para pelaku peran memiliki kemampuan berperilaku
sebagaimana ditentukan oleh peraturan yang ada?
· Berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang yang ada.
· Dalam prakteknya, kesempatan dan kemampuan saling bertumpang
tindih. Tidak menjadi soal kategori ROCCIPI yang mana yang mengilhami seorang
penyusun rancangan undang-undang ketika merumuskan hipotesa penjelasan.
· Kategori-kategori ini berhasil dalam tujuannya apabila berhasil
merangsang para pembuat rancangan undang-undang untuk mengidentifikasikan
penyebab dari perilaku bermasalah yang harus diubah oleh rancangan mereka.
d. Communication (Komunikasi)
Ketidaktahuan seorang pelaku peran tentang undang-undang mungkin dapat
menjelaskan mengapa dia berperilaku tidak sesuai. Apakah pihak yang berwenang
telah mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mengomunikasikan
peraturan-peraturan yang ada kepada para pihak yang dituju?
e. Interest (Kepentingan)
Apakah ada kepentingan material atau non material (sosial) yang
mempengaruhi pemegang peran dalam bertindak sesuai atau tidak sesuai dengan
aturan yang ada?
f. Process (Proses)
Menurut kriteria dan prosedur apakah – dengan proses yang
bagaimana – para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-undang atau
tidak?. Biasanya, apabila sekelompok pelaku peran terdiri dari perorangan,
kategori “proses” menghasilkan beberapa hipotesa yang berguna untuk menjelaskan
perilaku mereka. Orang-orang biasanya memutuskan sendiri apakah akan mematuhi
peraturan atau tidak.
g. Ideology (Idiologi)
Apakah nilai-nilai,
kebiasaan dan adat-istiadat yang ada cukup mempengaruhi pemegang peran untuk bertindak
sesuai atau bertentangan dengan aturan yang ada?
Selain ROCCIPI dapat juga digunakan dua
metode yang berdekatan sifat dan mekanisme kerjanya, yaitu metode Fishbone dan
RIA (Regulatory Impact Assessment). Metode Fishbone bekerja
dengan menggunakan riset yang mendalam, segala hal diuji dalam sebuah diskusi
yang panjang. Beberapa hal yang diuji adalah terkait dengan men, money,
management, method, dan environment.
·
Men (manusia), dilakukan pengujian bagaimana perilaku manusia
(subyek hukum)melaksanakan atau bertindak sehingga timbul masalah.
·
Money (uang/anggaran), pengujian dilakukan dengan mengidentifikasi
bagaimanakedudukan anggaran dalam pelaksanaan kegiatan sehingga menimbulkan
masalah.
·
Management, dilakukan pengujian dan riset apakah pola manajerial baik dari
sistem maupunsub sistem dapat mendukung atau tidak terhadap aturan-aturan yang
ada. Perludiperbaharuikah aturan yang lama atau membentuk aturan yang baru.
·
Method (metode), yang dimaksud metode disini adalah terkait dengan
hubungan antarasubyek hukum (pelaku) dengan obyek hukum, bagaimana model dan
pola hubungannyatersusun dalam sebuah metode.
·
Environment (lingkungan), lingkungan sangat berpengaruh terhadap hadirnya
persoalanyang terjadi, lingkungan ini terkait juga pengaruh dari luar (globalisasi).
Metode Fishbone ini dilakukan jika memang analisa
terhadap suatu permasalahan muncul
ketika suatu peraturan akan
diterapkan.
Sejalan dengan Fishbone ini, ada juga RIA. RIA
lebih mengutamakan pemahaman terhadap segala peraturan dibalik penyusunan peraturan
yang baru. RIA biasanya digunakan sebagai jaminan untuk mendukung pembangunan
dan investasi. Bagaimana RIA digunakan?
Penggunaan RIA harus dilakukan riset yang mendalam kenapa
peraturan tersebut diadakan? Setelah hal tersebut terjawab, apa resikonya jika
peraturan tersebut diadakan. Jika hal-hal tersebut telah terjawab maka sebuah
peraturan akan terlihat baik dan buruknya jika diterapkan dalam masyarakat.
Berdasarkan berbagai metode di atas, perancang Perda
hendaknya dapat melakukan pilihan yang tepat mana yang sesuai dengan kondisi
daerahnya, semua perhitungan sebagaimana terdapat dalam metode diatas selalu
menekankan partisipasi dari masyarakat. Namun demikian,kekayaan daerah
hendaknya menjadi prioritas utama dalam penyusunan Perda.
Selanjutnya dari inventarisasi masalah berdasarkan
pendekatan yang dikemukakan diatas, perancang Perda hendaknya membuat skala
prioritas mengenai permasalahan yang harus dipecahkan secepatnya, permasalahan
yang perlu dipecahkan bersama, dan permasalahan yang bisa ditunda pemecahannya.
Pembuatan skala prioritas merupakan hal yang penting karena pada umumnya
pembuatan Perda sangat terbatas skalanya, sehingga tidak seluruh permasalahan
dapat dipecahkan. Beberapa kriteria dapat dipakai untuk membuat skala
prioritas.
B. Identikasi Dasar
Hukum (Legal Baseline) dan Bagaimana Perda Baru Dapat Memecahkah Masalah
Pengertian legal baseline adalah
status dari peraturan perundang-undangan yang saat ini tengah berlaku.
Identifikasi legal baseline mencakup inventarisasi peraturan
perundang-undangan yang ada dan kajian terhadap kemampuan aparatur pemerintah
dalam melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.
Identifikasi legal baseline juga meliputi analisis
terhadap pelaksanaan dan penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan yang
ada. Melalui analisis ini, dapat diketahui bagian-bagian dari Perda yang ada,
yang telah dan belum/tidak ditegakkan, termasuk yang mendapat pendanaan dalam
pelaksanaannya berikut alasan yang menyertai, dan instansi yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan tersebut. Pada kenyataannya, para pembuat rancangan Perda
terlalu cepat memutuskan mengenai perlunya pembuatan rancangan Perda yang baru,
tanpa melakukan penelaahan memadai tentang legal baseline yang sudah
ada.
Hal demikian justru menambah “kekisruhan” atau
disharmonisasi antar-peraturan perundangundangan, serta tidak memecahkan
masalah yang sudah diidentifikasi. Pemberlakuan
Perda yang baru hendaknya diupayakan dengan menggunakan cara-cara baru demi
mengubah perilaku masyarakat, seperti melalui program sukarela berbasis
insentif, atau pengakuan hak adat. Selain itu, apabila instansi pemerintah
tidak transparan dan tidak bertanggung gugat (akuntabel), maka sulit diharapkan
bahwa pemberlakuan Perda baru tersebut akan serta merta dilaksanakan dengan
baik di kemudian hari. Bila demikian, maka Perda yang baru dapat membentuk
instansi independen, atau memberi otoritas dan memberdayakan organisasi
non-pemerintah serta lembaga adat, untuk memastikan adanya akuntabilitas dalam
pembuatan keputusan.
C. Penyusunan
Naskah Akademik
Naskah akademik
merupakan landasan dan sekaligus arah penyusunan suatu Perda.
1. Substansi Naskah Akademik
Naskah akademik harus menelaah 3
(tiga) permasalahan substansi, yaitu: (1) menjawab pertanyaan mengapa diperlukan
Perda baru, (2) lingkup materi kandungan dan komponen utama Perda, dan (3)
proses yang akan digunakan untuk menyusun dan mengesahkan Perda. Banyak hal
yang harus termaktub dalam naskah akademik, seperti yang akan diuraikan di
bawah ini, namun ketiga hal tersebut di atas merupakan hal-hal yang paling
mendasar.
Terdapat 10 (sepuluh) pertanyaan yang perlu dijawab dalam
penyusunan suatu peraturan perundang-undangan baru yang juga relevan dalam
penyusunan naskah akademik untuk sebuah
Perda, ke-10 (sepuluh) pertanyaan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Apakah
permasalahan yang dihadapi sudah didefinisikan secara benar?
2. Apakah langkah
pemerintah dapat dijustifikasi?
3. Apakah peraturan
perundangan baru merupakan langkah terbaik pemerintah?
4. Apakah ada dasar
hukum untuk langkah tersebut?
5. Tingkat
pemerintahan mana yang sesuai untuk langkah tersebut?
6. Apakah manfaat
dari peraturan perundang-undangan lebih besar dari biayanya?
7. Apakah distribusi
manfaat ke seluruh masyarakat transparan?
8. Apakah peraturan
perundang-undangan tersebut jelas, konsisten, dapat diakses dan dipahami oleh
para pemakainya?
(9) Apakah seluruh
kelompok kepentingan memiliki kesempatan untuk menyampaikan pandangannya?
(10)Bagaimana
pentaatan terhadap peraturan perundangan akan dicapai?
Naskah
akademik paling tidak harus memuat bab-bab yang terkait dengan Perda yang
diusulkan sebagai,berikut:
·
Latar belakang ilmiah.
·
Kerangka hukum dan
kelembagaan.
·
Masalah yang diidentifikasi
dan usulan pemecahannya (termasuk dan selain peraturanperundangan yang
diusulkan), serta analisis dari setiap usulan pemecahan masalah (termasuk
analisis mengenai dampak Perda yang diusulkan atau analisis biaya-manfaat).
·
Ruang lingkup dan struktur
dari Perda yang diusulkan (dengan pertimbangan alternatifalternatif untuk
isu-isu substansi utama).
·
Rencana penyusunan,
pengesahan, dan pelaksanaan Perda yang diusulkan, dan
·
Ringkasan, analisis, dan
tanggapan terhadap masukan dan komentar masyarakat.
Bentuk dan isi naskah akademik paling tidak memuat gagasan
pengaturan secara holistik dan futuristik dengan memuat berbagai macam aspek
keilmuan dengan dilengkapi dengan referensi yang memuat: urgensi, konsepsi,
landasan, dasar hokum dan prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran
tentang norma-norma yang dituangkan dalam bentuk pasal-pasal dengan menunjuk
beberapa alternatif yang disajikan dalam bentuk uraian sistematis dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum sesuai dengan politik hukum yang telah
digariskan.
2. Format Naskah Akademik
Meskipun
secara khusus teknis penyusunan dan format naskah akademik untuk peraturan
daerah belum ada namun secara umum format penyusunan
naskah akademik terdiri atas 2
(dua) bagian, yaitu:
1. Bagian Pertama berisi laporan hasil
pengkajian dan penelitian tentang Rancangan Peraturan Daerah
2. Bagian Kedua berisi konsep awal rancangan
Peraturan Daerah yang terdiri dari pasalpasal yang diusulkan
Format Bagian Pertama Naskah Akademik
I. Pendahuluan
1. Latar Belakang
a. Pokok Pikiran
tentang konstatasi fakta-fakta yang merupakan alasan-alasan pentingnya
materi
hukum yang
bersangkutan harus segera diatur
b.Daftar Peraturan
Perundang-undangan yang berkaitan dan yang dapat dijadikan
dasar hukum
bagi pengaturan materi hukum yang
bersangkutan
2. Tujuan dan kegunaan yang ingin dicapai
3. Metode pendekatan
4. Pengorganisasian
II. Ruang Lingkup Naskah
Akademik
1. Ketentuan Umum: memuat
istilah-istilah/pengertian yang dipakai dalam naskah akademik, beserta arti
dan maknanya masing-masing
2. Materi: memuat
konsepsi, pendekatan dan asas-asas dari materi hukum yang diatur, serta
pemikiran-pemikiran normatif yang sarankan, sedapat mungkin dengan mengemukakan
beberapa alternatif
III. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan berisi:
a. Rangkuman pokok
isi naskah akademik
b. Luas lingkup
materi yang diatur dan yang berkaitan dengan peraturan perundangundangan
lain
c. Bentuk
pengaturan yang dikaitkan dengan materi muatan
2. Saran-saran berisi:
a. Apakah semua materi diatur dalam
satu bentuk peraturan daerah atau ada sebagian yang sebaliknya dituangkan
dalam peraturan pelaksana atau peraturan lain
b.Harmonisasi
dengan peraturan perundang-undangan lainnya dan alasan/sebabnya
IV.
Lampiran/Daftar Pustaka
|
Format Bagian Kedua Naskah Akademik
1. Konsideran:
memuat pokok-pokok dan konstatasi fakta yang menunjuk pada perlunya pengaturan materi hukum yang
bersangkutan
2. Dasar Hukum:
memuat daftar peraturan perundang-undangan yang perlu diganti dan/atau yang
berkaitan serta dapat dibedakan dijadikan dasar hukum bagi pengaturan
materi hukum yang dibuat naskah akademiknya
3. Ketentuan Umum:
memuat istilah-istilah/pengertian-pengertian yang dipakai dalam naskah akademik
4. Materi: memuat
konsep tentang asas-asas dan materi hukum yang perlu diatur serta rumusan norma
dan pasal-pasalnya yang disarankan bila mungkin dengan mengemukakan
beberapa alternatif
5. Ketentuan Pidana:
memuat pemikiran-pemikiran tentang perbuatan-perbuatan tercela yang
dilarang dengan menyarankan sanksi pidananya (jika perlu)
6. Ketentuan Peralihan
memuat:
a. Ketentuan-ketentuan tentang
penerapan peraturan daerah baru terhadap keadaan yang terdapat pada waktu
peraturan daerah yang baru itu mulai berlaku
b. Ketentuan-ketentuan tentang
melaksanakan peraturan daerah baru secara bertahap
c. Ketentuan-ketentuan tentang
penyimpangan untuk sementara waktu dari peraturan daerah itu
d. Ketentuan-ketentuan mengenai
aturan khusus bagi keadaan atau hubungan yang sudah ada pada saat mulai
berlakukanya peraturan daerah tersebut
e. Ketentuan-ketentuan tentang
upaya apa yang harus dilakukan untuk memasyarakatkan peraturan daerah yang
baru
7. Penutup
|
3. Proses Penyusunan Naskah
Akademik
Naskah akademik harus disusun secara cermat dan
hati-hati. Pembentukan satu tim penyusun dan tim konsultasi atau pengarah harus
dilakukan. Demikian pula kegiatan konsultasi public secara terus menerus harus
diselenggarakan untuk merevisi konsep (draft) naskah akademik. Ihwal
pembentukan tim penyusun dan tim konsultasi/pengarah diuraikan lebih rinci
sebagaimana paparan berikut.
Langkah pertama dari suatu lembaga/instansi/badan yang
ingin menyusun naskah akademik adalah membentuk satu tim penyusun. Tim ini
hendaknya dibentuk dengan surat keputusan secara formal yang ditandatangani
oleh pimpinan lembaga/instansi/badan tersebut. Surat keputusan oleh pejabat di
bawahnya masih dimungkinkan, tetapi kekuatannya dalam hal melegitimasi
dimulainya proses penyusunan peraturan daerah agak lemah.
PENULISAN NASKAH
AKADEMIK
|
5. Susun jadwal penyelesaian pekerjaan
6. Mulai penyusunan (drafting)
a. Identifikasi isu dan masalah
b. Buat sistematika, tulis teks
c. Perbaiki terus
d. Buat notulensi setiap pertemuan
7. Selenggarakan pertemuan pemangku
kepentingan dan
konsultasi publik
untuk membahas draft dan memperoleh
masukan:
a. Kirim salinan (copy) draft sebelum
pertemuan dan
b. Sediakan data pendukung sebelum
pertemuan
8. Revisi dan finalisasi
|
1. Bentuk tim penyusun secara resmi.
a. Keanggotaan
tidak terlalu besar
b.Masukkan wakil-wakil pemangku
kepentingan
c. Penuhi kebutuhan wakil-wakil
d. Identifikasi staf pendukung
e. Formalkan dengan Surat Keputusan
2. Komitmen tim penyusun.
a. Komitmen waktu
memadai
b. Ruangan – satu
ruangan pertemuan
c. Anggaran –
jasa-jasa pendukung
3. Aturan prosedural tim penyusun
4. Identifikasi kelompok penasehat/
pengarah
a. Identifikasi pakar
b. Identifikasi pemangku kepentingan
c. Tentukan cara komunikasi teratur
|
D. Prosedur Penyusunan
Peraturan Daerah
Dalam rangka tertib administrasi dan peningkatan kualitas produk hukum
daerah, diperlukan suatu proses atau prosedur penyusunan Perda agar lebih
terarah dan terkoordinasi. Hal ini disebabkan dalam pembentukan Perda perlu
adanya persiapan yang matang dan mendalam, antara lain pengetahuan mengenai
materi muatan yang akan diatur dalam Perda, pengetahuan tentang bagaimana
menuangkan materi muatan tersebut ke dalam Perda secara singkat tetapi jelas
dengan bahasa yang baik serta mudah dipahami, disusun secara sistematis tanpa
meninggalkan tata cara yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dalam
penyusunan kalimatnya. Prosedur penyusunan ini adalah rangkaian kegiatan
penyusunan produk hukum daerah sejak dari perencanaan sampai dengan
penetapannya. Proses pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu:
a.
Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses penyusunan dan
perancangan di lingkungan DPRD atau di
lingkungan Pemda (dalam hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini termasuk
penyusunan naskah inisiatif (initiatives
draft), naskah akademik (academic
draft) dan naskah rancangan Perda (legal draft).
b. Proses mendapatkan persetujuan, yang
merupakan pembahasan di DPRD.
c. Proses pengesahan oleh Kepala Daerah dan
pengundangan oleh Sekretaris Daerah.
Ketiga proses pembentukan Perda tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Proses Penyiapan Raperda di lingkungan
DPRD.
Berdasarkan amandemen I dan II Pasal 20
ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dan
berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUD 1945, anggota-anggota DPR berhak mengajukan
usul rancangan Undang-Undang. Begitu pula di tingkat daerah, DPRD memegang
kekuasaan membentuk Perda dan anggota DPRD berhak mengajukan usul Raperda.
Dalam pelaksanaannya Raperda dari lingkungan DPRD diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing daerah. Pembahasan Raperda atas
inisiatif DPRD dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau unit kerja yang
ditunjuk oleh Kepala Daerah. Setelah itu juga dibentuk Tim Asistensi dengan
Sekretariat Daerah atau berada di Biro/Bagian Hukum.
b. Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan
Pemerintahan Daerah.
Dalam proses penyiapan Perda yang berasal
dari Pemerintah Daerah bisa dilihat dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum
Daerah yang telah diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun
2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang ditetapkan pada
tanggal 19 Mei 2006. Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang dimaksud
dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah yaitu Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala
Kantor, Kepala Biro/Bagian di lingkungan Sekretariat Daerah dapat mengajukan
prakarsa kepada Sekretaris Daerah yang memuat urgensi, argumentasi, maksud dan
tujuan pengaturan, materi yang akan diatur serta keterkaitan dengan peraturan
perundang-undangan lain yang akan dituangkan dalam Raperda tersebut.
Setelah prakarsa tersebut dikaji oleh
Sekretariat daerah mengenai urgensi, argumentasi dan pokokpokok materi serta
pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis dari masalah yang akan
dituangkan ke dalam Raperda tersebut maka Sekretariat Daerah akan mengambil
keputusan dan menugaskan Kepala Biro/Bagian Hukum untuk melakukan harmonisasi
materi dan sinkronisasi pengaturan. Apabila Sekretariat Daerah menyetujui,
pimpinan satuan kerja menyiapkan draft awal dan melakukan pembahasan yang
melibatkan Biro/Bagian Hukum, unit kerja terkait dan masyarakat.
Apabila
Sekretariat Daerah menyetujui, pimpinan satuan kerja menyiapkan draft awal dan
melakukan pembahasan yang melibatkan Biro/Bagian Hukum, unit kerja terkait dan
masyarakat. Setelah itu satuan kerja perangkat daerah dapat mendelegasikan
kepada Biro/ Bagian Hukum untuk melakukan penyusunan dan pembahasan rancangan
produk hukum daerah. Penyusunan Perda/produk hukum daerah lainnya harus
dilakukan melalui Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah yang diketuai oleh
pejabat pimpinan satuan kerja perangkat daerah yang ditunjuk oleh Kepala Daerah
dan Kepala Biro/Bagian Hukum sebagai sekretaris tim. Setelah pembahasan rancangan
produk hukum selesai, pimpinan satuan kerja perangkat daerah akan menyampaikan
kepada Sekretaris Daerah melalui Kepala Biro/Bagian Hukum. Raperda yang telah
melewati tahapan di atas akan disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk
dilakukan pembahasan sekaligus menunjuk Wakil Pemerintah Daerah dalam
Pembahasan Raperda tersebut.
c.
Proses Mendapatkan Persetujuan
DPRD.
Pembahasan Raperda di DPRD baik atas
inisiatif Pemerintah Daerah maupun atas inisiatif DPRD, dilakukan oleh DPRD
bersama Gubernur/Bupati/ Walikota, Pemda membentuk Tim Asistensi dengan
Sekretaris Daerah berada di Biro/Bagian Hukum. Tetapi biasanya pembahasan
dilakukan melalui beberapa tingkatan pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan
ini dilakukan dalam rapat paripurna, rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat
panitia khusus dan diputuskan dalam rapat paripurna. Secara lebih detail
mengenai pembahasan di DPRD baik atas inisiatif DPRD ditentukan oleh Peraturan
Tata Tertib DPRD masingmasing. Khusus untuk Raperda atas inisiatif DPRD, Kepala
Daerah akan menunjuk Sekretaris Daerah atau pejabat unit kerja untuk
mengkoordinasikan rancangan tersebut.
PEMBAHASAN DI DPRD
PEMBAHASAN
|
TAHAP
|
RAPERDA
DARI DPRD
|
RAPERDA
DARI PEMDA
|
||
RAPAT
PARIPURNA
|
TAHAP I
|
Keterangan/penjelasan
Komisi/Gab.
Komisi/
Pansus
DPRD ttg
|
Keterangan/Penjelasan
Pemda
ttg Raperda dari Pemda
|
||
RAPAT
PARIPURNA
|
TAHAP II
|
§
Tanggapan Pemda thp Raperda dari
DPRD
§
Jawaban Komisi/
Gab. Komisi/Pan
sus DPRD thp
tanggapan Pemda
|
§
pandangan umum para anggota DPRD
mll fraksi thp Raperda dari Pemda
§
Jawaban Pemda thp
Pandangan umum
dari Anggota DPRD
|
||
RAPAT
KOMISI
|
TAHAP III
|
§
Pembahasan Raperda dlm
Komisi/Gab. Komisi/ Pansus bersama Pemda
§
Pembahasan Raperda scr intern
dalam Komisi/Gab. Komisi/Pansus tanpa mengurangi Pembahasan bersama Pemda
|
|||
RAPAT
GABUNGAN KOMISI
|
|||||
RAPAT
PANITIA KHUSUS
|
|||||
RAPAT
PARIPURNA
|
TAHAP IV
|
§
Laporan Hasil Pembicaraan Tingkat
III
§
Pendapat akhir fraksi-fraksi
apabila perlu dapat disertai catatan
§
Pengambilan Keputusan
§
Sambutan Pemda
|
|||
PEMDA
|
|
d.
Proses Pengesahan dan Pengundangan
Apabila pembicaraan suatu Raperda dalam
rapat akhir di DPRD telah selesai dan disetujui oleh DPRD, Raperda akan dikirim
oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah melalui Sekretariat Daerah dalam hal
ini Biro/ Bagian Hukum untuk mendapatkan pengesahan. Penomoran Perda tersebut
dilakukan oleh Biro/Bagian Hukum. Kepala Biro/Bagian Hukum akan melakukan
autentifikasi. Kepala Daerah mengesahkan dengan menandatangani Perda tersebut
untuk diundangkan oleh Sekretaris Daerah. Sedangkan Biro/Bagian Hukum
bertanggung jawab dalam penggandaan, distribusi dan dokumentasi Perda tersebut.
Apabila
masih ada kesalahan teknik penyusunan Perda, Sekretaris DPRD dengan persetujuan
Pimpinan DPRD dan Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan Raperda
yang telah disetujui oleh DPRD sebelum disampaikan kepada Kepala Daerah. Jika
masih juga terdapat kesalahan teknik penyusunan setelah diserahkan kepada
Kepala Daerah, Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan tersebut
dengan persetujuan Pimpinan DPRD. Setelah Perda diundangkan dan masih terdapat
kesalahan teknik penyusunan, Sekretaris Daerah dengan persetujuan Pimpinan DPRD
dapat meralat kesalahan tersebut tanpa merubah substansi Perda melalui Lembaran
Daerah. Pemda wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran
Daerah agar semua masyarakat di daerah setempat dan pihak terkait
mengetahuinya.
e. Lembaran Daerah dan
Berita Daerah
1.
Agar memiliki kekuatan hukum dan dapat mengikat masyarakat, Perda yang telah
disahkan oleh Kepala Daerah harus diundangkan dalam Lembaran Daerah.
2.
Untuk menjaga keserasian dan keterkaitan Perda dengan penjelasannya, penjelasan
atas Perda tersebut dicatat dalam Tambahan Lembaran Daerah dan ditetapkan
bersamaan dengan pengundangan Perda sebagaimana yang diundangkan di atas. Pejabat
yang berwenang mengundangkan Perda tersebut adalah Sekretaris Daerah.
E.
Mekanisme Pengawasan Perda
Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah
sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Bulan Desember 2005 ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor
79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Pembinaan
dan pengawasan dimaksudkan agar kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan
desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan. Di samping Pemda merupakan sub
sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara, secara implicit pembinaan dan pengawasan terhadap Pemda merupakan
bagian integral dari sistem penyelenggaraan
negara, maka harus berjalan sesuai dengan
rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka
NKRI.
Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 secara tegas memberikan kewenangan kepada
pemerintah pusat untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan atas
penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Menteri dan Pimpinan LPND melakukan
pembinaan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang meliputi pemberian
pedoman. Bimbingan, pelatihan, arahan dan pengawasan yang dikoordinasikan
kepada Menteri Dalam Negeri. Pemerintah dapat melimpahkan pembinaan atas
penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten di daerah sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
Pembinaan
yang dilakukan oleh Gubernur terhadap peraturan Kabupaten dan Kota dilaporkan
kepada Presiden melalui Mendagri dengan tembusan kepada Departemen/Lembaga
Pemerintahan Non Departemen terkait. Pengawasan Kebijakan Daerah berdasarkan UU
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Pengawasan Perda
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dengan UU Nomor 18 Tahun 1997
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000.
Pengawasan
dilakukan secara represif dengan memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada
Pemda untuk menetapkan Perda baik yang bersifat limitatif maupun Perda lain
berdasarkan kriteria yang ditetapkan Pemerintah. Karena tidak disertai dengan
sanksi dalam kedua Undang-Undang tersebut, peluang ini dimanfaatkan oleh
Pemerintah Daerah untuk menetapkan Perda yang berkaitan dengan pendapatan dan
membebani dunia usaha dengan tidak menyampaikan Perda dimaksud kepada
Pemerintah Pusat.
Berbeda
dengan Pengawasan Kebijakan Daerah yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, Pengawasan atas
penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP
Nomor 79 Tahun 2005 dilakukan secara:
a. Preventif,
terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang menyangkut Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah
dan APBD;
b. Represif,
terhadap kebijakan berupa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah selain
yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;
c. Fungsional, terhadap pelaksanaan
kebijakan Pemerintah Daerah;
d. Pengawasan legislatif terhadap
pelaksanaan kebijakan daerah;
e. Pengawasan terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah
oleh masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perda adalah “peraturan
perundang-undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta merupakan
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Beberapa langkah yang perlu dilalui dalam menyusun
suatu Perda baru.
·
Langkah 1 : Identifikasi isu
dan masalah.
·
Langkah 2 : Identifikasi legal
baseline atau landasan hukum, dan bagaimana peraturan daerah (Perda) baru
dapat memecahkan masalah.
·
Langkah 3 : Penyusunan Naskah
Akademik.
·
Langkah 4 : Prosedur
Penyusunan Peraturan Daerah
a.
Proses Penyiapan Raperda di lingkungan
DPRD.
b.
Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan
Pemerintahan Daerah.
c.
Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD.
d.
Proses Pengesahan dan Pengundangan
e.
Lembaran Daerah dan Berita Daerah
·
Mekanisme
Pengawasan Perda
B. Saran
Pemerintah
dalam merancang dan membuat peraturan daerah hendaknya memperhatikan asas-asas
pembuatan perda yang baik, serta sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang
terjadi dalam kehidupan masyarakat. Peraturan Daerah dibuat untuk menciptakan
suasana pemerintahan yang baik dan teratur, bukan malah membuat masalah baru
dalam masyarakat. Untuk itu keprofesionalan dan kearifan pemerintah sangatlah
dibutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar