Sabtu, 12 Oktober 2013

Proses Pembuatan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Proses Pembuatan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota


BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Pengertian Peraturan Daerah Sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Perda) adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”. Definisi lain tentang Perda berdasarkan ketentuan Undang- Undang tentang Pemerintah Daerah  adalah “peraturan perundangundangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota”. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing masing daerah.
Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernuratau Bupati/Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur atau Bupati/Walikota dan DPRD menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan persandingan.
Program penyusunan Perda dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Perda. Ada berbagai jenis Perda yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kota dan Propinsi antara lain:
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Tata Ruang Wilayah Daerah;
d. APBD;
e. Rencana Program Jangka Menengah Daerah;
f. Perangkat Daerah;
g. Pemerintahan Desa;
h. Pengaturan umum lainnya.
Pembentukan Perda Yang Baik. Pembentukan Perda yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundangundangan sebagai berikut:
a.    kejelasan tujuan,
b.    kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat,
c.    kesesuaian antara jenis dan materi muatan,
d.   dapat dilaksanakan
e.    kedayagunaan dan kehasilgunaan
f.     kejelasan rumusan
g.    keterbukaan
B.       Perumusan Masalah
A. Bagaimana cara Identifikasi Isu dan Masalah dalam pembuatan Perda?
B. Bagaimana Identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana peraturan daerah (Perda) baru dapat memecahkan masalah?
C. Bagaimana Penyusunan Naskah Akademik?
D. Bagaimana Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah?
E. Bagaimana Mekanisme Pengawasan Perda?
C.      Tujuan
Tujuan Pembuatan Makalah ini adalah untuk mengetahui tentang :
1.    Identifikasi Isu dan Masalah substansi dari Peraturan Daerah.
2.    Identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana peraturan daerah (Perda) baru dapat memecahkan masalah.
3.     Penyusunan Naskah Akademik.
4.     Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah yang meliputi:
a.    Proses Penyiapan Raperda di lingkungan DPRD.
b.    Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan Pemerintahan Daerah.
c.    Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD.
d.    Proses Pengesahan dan Pengundangan
e.    . Lembaran Daerah dan Berita Daerah
5.    Mekanisme Pengawasan Perda
D.      Ruang Lingkup
Pembuatan Peraturan Daerah ini adalah dalam ruang lingkup kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
E. Dasar Hukum
Setelah 25 Juni 2004
1. Undang-undang tentang Pembentukan Perundang-undangan, yang telah di setujui oleh Pemerintah dengan DPR, tanggal 25 Mei 2004
2. Tata Tertib DPRD Propinsi atau Kabupaten/Kota.
BAB II
PEMBAHASAN
            Secara umum, terdapat beberapa  langkah yang perlu dilalui dalam menyusun suatu Perda baru. Uraian dari masing-masing langkah dapat bervariasi, namun secara umum seluruh langkah ini perlu dilalui.
·         Langkah 1 : Identifikasi isu dan masalah.
·         Langkah 2 : Identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana peraturan daerah (Perda) baru dapat memecahkan masalah.
·         Langkah 3 : Penyusunan Naskah Akademik.
·         Langkah 4 : Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah
a.     Proses Penyiapan Raperda di lingkungan DPRD.
b.    Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan Pemerintahan Daerah.
c.    Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD.
d.   Proses Pengesahan dan Pengundangan
e.    Lembaran Daerah dan Berita Daerah
·      Mekanisme Pengawasan Perda
Alur proses penyusunan Perda dapat digambarkan pada bagan di bawah:

1.     Identifikasi Isu dan Masalah
5. Penyelenggaraan
    Konsultasi Publik:
• Revisi Rancangan Perda
   apabila diperlukan
• melakukan konsultasi
   publik tambahan
6. Pembahasan di DPRD
2. Identifikasi legal baseline
atau landasan hukum, dan
bagaimana Perda baru dpt
memecahkan masalah
3. Penyusunan naskah  
    akademik
4. Penulisan Raperda
7. Penetapan Perda
 


A. Identifikasi Isu dan Masalah
            Para perancang Perda perlu membuat Perda atas nama dan untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil adalah mengajukan pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Permasalahan dapat mencakup banyak hal, antara lain degradasi dan deviasi sumber daya, konflik pemanfaatan antar pihak yang mengakibatkan keresahan sosial, dan lain-lain. Selain mengidentifikasi masalah, perancang Perda harus pula mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah (akar masalah) dan pihak-pihak yang terkena dampak dari berbagai masalah tersebut. Perancang Perda hendaknya memahami konsekuensi-konsekuensi yang mungkin akan timbul dari penanganan masalah-masalah tertentu. Misalnya saja, apakah semua pihak akan diperlakukan secara adil? Apakah ada pihakpihak tertentu yang sangat diuntungkan dan di lain sisi mengorbankan pihak lain? Dengan hanya menangani sejumlah permasalahan, apakah tidak menimbulkan permasalahan baru?
            Bagaimana mengidentifikasi masalah tersebut. Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi masalah tersebut. Melakukan identifikasi masalah dengan metode ROCCIPI (Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, dan Ideology)22.
a. Rule (Peraturan)
·         Susunan kata dari peraturan kurang jelas atau rancu.
·         Peraturan mungkin memberi peluang perilaku masalah.
·         Tidak menangani penyebab-penyebab dari perilaku bermasalah.
·        Memberi peluang pelaksanaan yang tidak transparan, tidak bertanggung jawab, dan tidak partisipatif, dan
·        Memberikan kewenangan yang tidak perlu kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan bagaimana mengubah perilaku bermasalah.
       
b. Opportunity (Kesempatan)
·      Apakah lingkungan di sekeliling pihak yang dituju suatu undang memungkinkan mereka berperilaku sebagaimana diperintahkan undang-undang atau tidak?
·    Apakah lingkungan tersebut membuat perilaku yang sesuai tidak mungkin terjadi?
c. Capacity (Kemampuan)
·  Apakah para pelaku peran memiliki kemampuan berperilaku sebagaimana ditentukan oleh peraturan yang ada?
·  Berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang yang ada.
·  Dalam prakteknya, kesempatan dan kemampuan saling bertumpang tindih. Tidak menjadi soal kategori ROCCIPI yang mana yang mengilhami seorang penyusun rancangan undang-undang ketika merumuskan hipotesa penjelasan.
·  Kategori-kategori ini berhasil dalam tujuannya apabila berhasil merangsang para pembuat rancangan undang-undang untuk mengidentifikasikan penyebab dari perilaku bermasalah yang harus diubah oleh rancangan mereka.
d. Communication (Komunikasi)
       Ketidaktahuan seorang pelaku peran tentang undang-undang mungkin dapat menjelaskan mengapa dia berperilaku tidak sesuai. Apakah pihak yang berwenang telah mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mengomunikasikan peraturan-peraturan yang ada kepada para pihak yang dituju?
e. Interest (Kepentingan)
Apakah ada kepentingan material atau non material (sosial) yang mempengaruhi pemegang peran dalam bertindak sesuai atau tidak sesuai dengan aturan yang ada?
f. Process (Proses)
Menurut kriteria dan prosedur apakah – dengan proses yang bagaimana – para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-undang atau tidak?. Biasanya, apabila sekelompok pelaku peran terdiri dari perorangan, kategori “proses” menghasilkan beberapa hipotesa yang berguna untuk menjelaskan perilaku mereka. Orang-orang biasanya memutuskan sendiri apakah akan mematuhi peraturan atau tidak.
g. Ideology (Idiologi)
Apakah nilai-nilai, kebiasaan dan adat-istiadat yang ada cukup mempengaruhi pemegang peran untuk bertindak sesuai atau bertentangan dengan aturan yang ada?
       Selain ROCCIPI dapat juga digunakan dua metode yang berdekatan sifat dan mekanisme kerjanya, yaitu metode Fishbone dan RIA (Regulatory Impact Assessment). Metode Fishbone bekerja dengan menggunakan riset yang mendalam, segala hal diuji dalam sebuah diskusi yang panjang. Beberapa hal yang diuji adalah terkait dengan men, money, management, method, dan environment.
·       Men (manusia), dilakukan pengujian bagaimana perilaku manusia (subyek hukum)melaksanakan atau bertindak sehingga timbul masalah.
·       Money (uang/anggaran), pengujian dilakukan dengan mengidentifikasi bagaimanakedudukan anggaran dalam pelaksanaan kegiatan sehingga menimbulkan masalah.
·       Management, dilakukan pengujian dan riset apakah pola manajerial baik dari sistem maupunsub sistem dapat mendukung atau tidak terhadap aturan-aturan yang ada. Perludiperbaharuikah aturan yang lama atau membentuk aturan yang baru.
·       Method (metode), yang dimaksud metode disini adalah terkait dengan hubungan antarasubyek hukum (pelaku) dengan obyek hukum, bagaimana model dan pola hubungannyatersusun dalam sebuah metode.
·       Environment (lingkungan), lingkungan sangat berpengaruh terhadap hadirnya persoalanyang terjadi, lingkungan ini terkait juga pengaruh dari luar (globalisasi).
            Metode Fishbone ini dilakukan jika memang analisa terhadap suatu permasalahan muncul
ketika suatu peraturan akan diterapkan.
            Sejalan dengan Fishbone ini, ada juga RIA. RIA lebih mengutamakan pemahaman terhadap segala peraturan dibalik penyusunan peraturan yang baru. RIA biasanya digunakan sebagai jaminan untuk mendukung pembangunan dan investasi. Bagaimana RIA digunakan?
            Penggunaan RIA harus dilakukan riset yang mendalam kenapa peraturan tersebut diadakan? Setelah hal tersebut terjawab, apa resikonya jika peraturan tersebut diadakan. Jika hal-hal tersebut telah terjawab maka sebuah peraturan akan terlihat baik dan buruknya jika diterapkan dalam masyarakat.
            Berdasarkan berbagai metode di atas, perancang Perda hendaknya dapat melakukan pilihan yang tepat mana yang sesuai dengan kondisi daerahnya, semua perhitungan sebagaimana terdapat dalam metode diatas selalu menekankan partisipasi dari masyarakat. Namun demikian,kekayaan daerah hendaknya menjadi prioritas utama dalam penyusunan Perda.
            Selanjutnya dari inventarisasi masalah berdasarkan pendekatan yang dikemukakan diatas, perancang Perda hendaknya membuat skala prioritas mengenai permasalahan yang harus dipecahkan secepatnya, permasalahan yang perlu dipecahkan bersama, dan permasalahan yang bisa ditunda pemecahannya. Pembuatan skala prioritas merupakan hal yang penting karena pada umumnya pembuatan Perda sangat terbatas skalanya, sehingga tidak seluruh permasalahan dapat dipecahkan. Beberapa kriteria dapat dipakai untuk membuat skala prioritas.
B. Identikasi Dasar Hukum (Legal Baseline) dan Bagaimana Perda Baru Dapat Memecahkah Masalah
       Pengertian legal baseline adalah status dari peraturan perundang-undangan yang saat ini tengah berlaku. Identifikasi legal baseline mencakup inventarisasi peraturan perundang-undangan yang ada dan kajian terhadap kemampuan aparatur pemerintah dalam melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.
            Identifikasi legal baseline juga meliputi analisis terhadap pelaksanaan dan penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan yang ada. Melalui analisis ini, dapat diketahui bagian-bagian dari Perda yang ada, yang telah dan belum/tidak ditegakkan, termasuk yang mendapat pendanaan dalam pelaksanaannya berikut alasan yang menyertai, dan instansi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tersebut. Pada kenyataannya, para pembuat rancangan Perda terlalu cepat memutuskan mengenai perlunya pembuatan rancangan Perda yang baru, tanpa melakukan penelaahan memadai tentang legal baseline yang sudah ada.
            Hal demikian justru menambah “kekisruhan” atau disharmonisasi antar-peraturan perundangundangan, serta tidak memecahkan masalah yang sudah diidentifikasi.          Pemberlakuan Perda yang baru hendaknya diupayakan dengan menggunakan cara-cara baru demi mengubah perilaku masyarakat, seperti melalui program sukarela berbasis insentif, atau pengakuan hak adat. Selain itu, apabila instansi pemerintah tidak transparan dan tidak bertanggung gugat (akuntabel), maka sulit diharapkan bahwa pemberlakuan Perda baru tersebut akan serta merta dilaksanakan dengan baik di kemudian hari. Bila demikian, maka Perda yang baru dapat membentuk instansi independen, atau memberi otoritas dan memberdayakan organisasi non-pemerintah serta lembaga adat, untuk memastikan adanya akuntabilitas dalam pembuatan keputusan.
C. Penyusunan Naskah Akademik
Naskah akademik merupakan landasan dan sekaligus arah penyusunan suatu Perda.
1. Substansi Naskah Akademik
          Naskah akademik harus menelaah 3 (tiga) permasalahan substansi, yaitu: (1) menjawab pertanyaan mengapa diperlukan Perda baru, (2) lingkup materi kandungan dan komponen utama Perda, dan (3) proses yang akan digunakan untuk menyusun dan mengesahkan Perda. Banyak hal yang harus termaktub dalam naskah akademik, seperti yang akan diuraikan di bawah ini, namun ketiga hal tersebut di atas merupakan hal-hal yang paling mendasar.
          Terdapat 10 (sepuluh) pertanyaan yang perlu dijawab dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan baru yang juga relevan dalam penyusunan naskah akademik untuk sebuah
Perda, ke-10 (sepuluh) pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apakah permasalahan yang dihadapi sudah didefinisikan secara benar?
2. Apakah langkah pemerintah dapat dijustifikasi?
3. Apakah peraturan perundangan baru merupakan langkah terbaik pemerintah?
4. Apakah ada dasar hukum untuk langkah tersebut?
5. Tingkat pemerintahan mana yang sesuai untuk langkah tersebut?
6. Apakah manfaat dari peraturan perundang-undangan lebih besar dari biayanya?
7. Apakah distribusi manfaat ke seluruh masyarakat transparan?
8. Apakah peraturan perundang-undangan tersebut jelas, konsisten, dapat diakses dan dipahami oleh para pemakainya?
(9) Apakah seluruh kelompok kepentingan memiliki kesempatan untuk menyampaikan pandangannya?
(10)Bagaimana pentaatan terhadap peraturan perundangan akan dicapai?
            Naskah akademik paling tidak harus memuat bab-bab yang terkait dengan Perda yang diusulkan sebagai,berikut:
·      Latar belakang ilmiah.
·      Kerangka hukum dan kelembagaan.
·      Masalah yang diidentifikasi dan usulan pemecahannya (termasuk dan selain peraturanperundangan yang diusulkan), serta analisis dari setiap usulan pemecahan masalah (termasuk analisis mengenai dampak Perda yang diusulkan atau analisis biaya-manfaat).
·      Ruang lingkup dan struktur dari Perda yang diusulkan (dengan pertimbangan alternatifalternatif untuk isu-isu substansi utama).
·      Rencana penyusunan, pengesahan, dan pelaksanaan Perda yang diusulkan, dan
·      Ringkasan, analisis, dan tanggapan terhadap masukan dan komentar masyarakat.
            Bentuk dan isi naskah akademik paling tidak memuat gagasan pengaturan secara holistik dan futuristik dengan memuat berbagai macam aspek keilmuan dengan dilengkapi dengan referensi yang memuat: urgensi, konsepsi, landasan, dasar hokum dan prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-norma yang dituangkan dalam bentuk pasal-pasal dengan menunjuk beberapa alternatif yang disajikan dalam bentuk uraian sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum sesuai dengan politik hukum yang telah digariskan.
2. Format Naskah Akademik
            Meskipun secara khusus teknis penyusunan dan format naskah akademik untuk peraturan
daerah belum ada namun secara umum format penyusunan naskah akademik terdiri atas 2
(dua) bagian, yaitu:
1.  Bagian Pertama berisi laporan hasil pengkajian dan penelitian tentang Rancangan Peraturan Daerah
2.  Bagian Kedua berisi konsep awal rancangan Peraturan Daerah yang terdiri dari pasalpasal yang diusulkan
Format Bagian Pertama Naskah Akademik
I. Pendahuluan
1. Latar Belakang
    a. Pokok Pikiran tentang konstatasi fakta-fakta yang merupakan alasan-alasan pentingnya materi   
        hukum yang bersangkutan harus segera diatur
    b.Daftar Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dan yang dapat  dijadikan  dasar hukum
       bagi pengaturan materi hukum yang bersangkutan
2. Tujuan dan kegunaan yang ingin dicapai
3. Metode pendekatan
4. Pengorganisasian
II. Ruang Lingkup Naskah Akademik
1. Ketentuan Umum: memuat istilah-istilah/pengertian yang dipakai dalam naskah akademik, beserta arti dan maknanya masing-masing
2. Materi: memuat konsepsi, pendekatan dan asas-asas dari materi hukum yang diatur, serta pemikiran-pemikiran normatif yang sarankan, sedapat mungkin dengan mengemukakan beberapa alternatif
III. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan berisi:
    a. Rangkuman pokok isi naskah akademik
    b. Luas lingkup materi yang diatur dan yang berkaitan dengan peraturan perundangundangan lain
    c. Bentuk pengaturan yang dikaitkan dengan materi muatan
2. Saran-saran berisi:
    a. Apakah semua materi diatur dalam satu bentuk peraturan daerah atau ada sebagian yang sebaliknya dituangkan dalam peraturan pelaksana atau peraturan lain
     b.Harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya dan alasan/sebabnya
IV. Lampiran/Daftar Pustaka
Format Bagian Kedua Naskah Akademik
1. Konsideran: memuat pokok-pokok dan konstatasi fakta yang menunjuk pada  perlunya pengaturan materi hukum yang bersangkutan
2. Dasar Hukum: memuat daftar peraturan perundang-undangan yang perlu diganti dan/atau yang berkaitan serta dapat dibedakan dijadikan dasar hukum bagi pengaturan materi hukum yang dibuat naskah akademiknya
3. Ketentuan Umum: memuat istilah-istilah/pengertian-pengertian yang dipakai dalam naskah akademik
4. Materi: memuat konsep tentang asas-asas dan materi hukum yang perlu diatur serta rumusan norma dan pasal-pasalnya yang disarankan bila mungkin dengan mengemukakan beberapa alternatif
5. Ketentuan Pidana: memuat pemikiran-pemikiran tentang perbuatan-perbuatan tercela yang dilarang dengan menyarankan sanksi pidananya (jika perlu)
6. Ketentuan Peralihan memuat:
            a. Ketentuan-ketentuan tentang penerapan peraturan daerah baru terhadap keadaan yang terdapat pada waktu peraturan daerah yang baru itu mulai berlaku
            b. Ketentuan-ketentuan tentang melaksanakan peraturan daerah baru secara bertahap
            c. Ketentuan-ketentuan tentang penyimpangan untuk sementara waktu dari peraturan daerah itu
            d. Ketentuan-ketentuan mengenai aturan khusus bagi keadaan atau hubungan yang sudah ada pada saat mulai berlakukanya peraturan daerah tersebut
            e. Ketentuan-ketentuan tentang upaya apa yang harus dilakukan untuk memasyarakatkan peraturan daerah yang baru
7. Penutup
3. Proses Penyusunan Naskah Akademik
            Naskah akademik harus disusun secara cermat dan hati-hati. Pembentukan satu tim penyusun dan tim konsultasi atau pengarah harus dilakukan. Demikian pula kegiatan konsultasi public secara terus menerus harus diselenggarakan untuk merevisi konsep (draft) naskah akademik. Ihwal pembentukan tim penyusun dan tim konsultasi/pengarah diuraikan lebih rinci sebagaimana paparan berikut.
            Langkah pertama dari suatu lembaga/instansi/badan yang ingin menyusun naskah akademik adalah membentuk satu tim penyusun. Tim ini hendaknya dibentuk dengan surat keputusan secara formal yang ditandatangani oleh pimpinan lembaga/instansi/badan tersebut. Surat keputusan oleh pejabat di bawahnya masih dimungkinkan, tetapi kekuatannya dalam hal melegitimasi dimulainya proses penyusunan peraturan daerah agak lemah.
PENULISAN NASKAH AKADEMIK
 

5. Susun jadwal penyelesaian pekerjaan
6. Mulai penyusunan (drafting)
a. Identifikasi isu dan masalah
b. Buat sistematika, tulis teks
c. Perbaiki terus
d. Buat notulensi setiap pertemuan
7. Selenggarakan pertemuan pemangku
kepentingan dan konsultasi publik
untuk membahas draft dan memperoleh
masukan:
a. Kirim salinan (copy) draft sebelum
pertemuan dan
b. Sediakan data pendukung sebelum
pertemuan
8. Revisi dan finalisasi
1. Bentuk tim penyusun secara resmi.
     a. Keanggotaan tidak terlalu besar
b.Masukkan wakil-wakil pemangku
    kepentingan
c. Penuhi kebutuhan wakil-wakil
d. Identifikasi staf pendukung
e. Formalkan dengan Surat Keputusan
2. Komitmen tim penyusun.
     a. Komitmen waktu memadai
     b. Ruangan – satu ruangan pertemuan
     c. Anggaran – jasa-jasa pendukung
3. Aturan prosedural tim penyusun
4. Identifikasi kelompok penasehat/
    pengarah
a. Identifikasi pakar
b. Identifikasi pemangku kepentingan
c. Tentukan cara komunikasi teratur
        
D. Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah
        Dalam rangka tertib administrasi dan peningkatan kualitas produk hukum daerah, diperlukan suatu proses atau prosedur penyusunan Perda agar lebih terarah dan terkoordinasi. Hal ini disebabkan dalam pembentukan Perda perlu adanya persiapan yang matang dan mendalam, antara lain pengetahuan mengenai materi muatan yang akan diatur dalam Perda, pengetahuan tentang bagaimana menuangkan materi muatan tersebut ke dalam Perda secara singkat tetapi jelas dengan bahasa yang baik serta mudah dipahami, disusun secara sistematis tanpa meninggalkan tata cara yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dalam penyusunan kalimatnya. Prosedur penyusunan ini adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya. Proses pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu:
a. Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di   lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda (dalam hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini termasuk penyusunan naskah inisiatif (initiatives draft), naskah akademik (academic draft) dan naskah rancangan Perda (legal draft).
b. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD.
c. Proses pengesahan oleh Kepala Daerah dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.
Ketiga proses pembentukan Perda tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a.     Proses Penyiapan Raperda di lingkungan DPRD.
       Berdasarkan amandemen I dan II Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dan berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUD 1945, anggota-anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan Undang-Undang. Begitu pula di tingkat daerah, DPRD memegang kekuasaan membentuk Perda dan anggota DPRD berhak mengajukan usul Raperda. Dalam pelaksanaannya Raperda dari lingkungan DPRD diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing daerah. Pembahasan Raperda atas inisiatif DPRD dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau unit kerja yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Setelah itu juga dibentuk Tim Asistensi dengan Sekretariat Daerah atau berada di Biro/Bagian Hukum.
b.    Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan Pemerintahan Daerah.
       Dalam proses penyiapan Perda yang berasal dari Pemerintah Daerah bisa dilihat dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang telah diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang ditetapkan pada tanggal 19 Mei 2006. Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang dimaksud dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah yaitu Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Biro/Bagian di lingkungan Sekretariat Daerah dapat mengajukan prakarsa kepada Sekretaris Daerah yang memuat urgensi, argumentasi, maksud dan tujuan pengaturan, materi yang akan diatur serta keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain yang akan dituangkan dalam Raperda tersebut.
          Setelah prakarsa tersebut dikaji oleh Sekretariat daerah mengenai urgensi, argumentasi dan pokokpokok materi serta pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis dari masalah yang akan dituangkan ke dalam Raperda tersebut maka Sekretariat Daerah akan mengambil keputusan dan menugaskan Kepala Biro/Bagian Hukum untuk melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan. Apabila Sekretariat Daerah menyetujui, pimpinan satuan kerja menyiapkan draft awal dan melakukan pembahasan yang melibatkan Biro/Bagian Hukum, unit kerja terkait dan masyarakat.
Apabila Sekretariat Daerah menyetujui, pimpinan satuan kerja menyiapkan draft awal dan melakukan pembahasan yang melibatkan Biro/Bagian Hukum, unit kerja terkait dan masyarakat. Setelah itu satuan kerja perangkat daerah dapat mendelegasikan kepada Biro/ Bagian Hukum untuk melakukan penyusunan dan pembahasan rancangan produk hukum daerah. Penyusunan Perda/produk hukum daerah lainnya harus dilakukan melalui Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah yang diketuai oleh pejabat pimpinan satuan kerja perangkat daerah yang ditunjuk oleh Kepala Daerah dan Kepala Biro/Bagian Hukum sebagai sekretaris tim. Setelah pembahasan rancangan produk hukum selesai, pimpinan satuan kerja perangkat daerah akan menyampaikan kepada Sekretaris Daerah melalui Kepala Biro/Bagian Hukum. Raperda yang telah melewati tahapan di atas akan disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan sekaligus menunjuk Wakil Pemerintah Daerah dalam Pembahasan Raperda tersebut.
c.    Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD.
       Pembahasan Raperda di DPRD baik atas inisiatif Pemerintah Daerah maupun atas inisiatif DPRD, dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur/Bupati/ Walikota, Pemda membentuk Tim Asistensi dengan Sekretaris Daerah berada di Biro/Bagian Hukum. Tetapi biasanya pembahasan dilakukan melalui beberapa tingkatan pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan ini dilakukan dalam rapat paripurna, rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat panitia khusus dan diputuskan dalam rapat paripurna. Secara lebih detail mengenai pembahasan di DPRD baik atas inisiatif DPRD ditentukan oleh Peraturan Tata Tertib DPRD masingmasing. Khusus untuk Raperda atas inisiatif DPRD, Kepala Daerah akan menunjuk Sekretaris Daerah atau pejabat unit kerja untuk mengkoordinasikan rancangan tersebut.
PEMBAHASAN DI DPRD
PEMBAHASAN
TAHAP
RAPERDA DARI DPRD
RAPERDA DARI PEMDA
RAPAT
PARIPURNA
TAHAP I
Keterangan/penjelasan
Komisi/Gab. Komisi/
Pansus DPRD ttg
Rapat  Fraksi  FrFraFraksi
Rapat  Fraksi  FrFraFraksi
Raperda dari DPRD
Keterangan/Penjelasan
Pemda ttg Raperda dari Pemda
RAPAT
PARIPURNA
TAHAP II
§  Tanggapan Pemda thp Raperda dari DPRD
§  Jawaban Komisi/
Gab. Komisi/Pan
      sus DPRD thp
      tanggapan Pemda
§  pandangan umum para anggota DPRD mll fraksi thp Raperda dari Pemda
§  Jawaban Pemda thp
      Pandangan umum        
    dari Anggota DPRD
RAPAT KOMISI
TAHAP III
§  Pembahasan Raperda dlm Komisi/Gab. Komisi/ Pansus bersama Pemda
§  Pembahasan Raperda scr intern dalam Komisi/Gab. Komisi/Pansus tanpa mengurangi Pembahasan bersama Pemda
RAPAT GABUNGAN KOMISI
RAPAT PANITIA KHUSUS
RAPAT PARIPURNA
TAHAP IV
§  Laporan Hasil Pembicaraan Tingkat III
§  Pendapat akhir fraksi-fraksi apabila perlu dapat disertai catatan
§  Pengambilan Keputusan
§  Sambutan Pemda
PEMDA
d.    Proses Pengesahan dan Pengundangan
       Apabila pembicaraan suatu Raperda dalam rapat akhir di DPRD telah selesai dan disetujui oleh DPRD, Raperda akan dikirim oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah melalui Sekretariat Daerah dalam hal ini Biro/ Bagian Hukum untuk mendapatkan pengesahan. Penomoran Perda tersebut dilakukan oleh Biro/Bagian Hukum. Kepala Biro/Bagian Hukum akan melakukan autentifikasi. Kepala Daerah mengesahkan dengan menandatangani Perda tersebut untuk diundangkan oleh Sekretaris Daerah. Sedangkan Biro/Bagian Hukum bertanggung jawab dalam penggandaan, distribusi dan dokumentasi Perda tersebut.
Apabila masih ada kesalahan teknik penyusunan Perda, Sekretaris DPRD dengan persetujuan Pimpinan DPRD dan Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan Raperda yang telah disetujui oleh DPRD sebelum disampaikan kepada Kepala Daerah. Jika masih juga terdapat kesalahan teknik penyusunan setelah diserahkan kepada Kepala Daerah, Kepala Daerah dapat menyempurnakan teknik penyusunan tersebut dengan persetujuan Pimpinan DPRD. Setelah Perda diundangkan dan masih terdapat kesalahan teknik penyusunan, Sekretaris Daerah dengan persetujuan Pimpinan DPRD dapat meralat kesalahan tersebut tanpa merubah substansi Perda melalui Lembaran Daerah. Pemda wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah agar semua masyarakat di daerah setempat dan pihak terkait mengetahuinya.
e. Lembaran Daerah dan Berita Daerah
1. Agar memiliki kekuatan hukum dan dapat mengikat masyarakat, Perda yang telah disahkan oleh Kepala Daerah harus diundangkan dalam Lembaran Daerah.
2. Untuk menjaga keserasian dan keterkaitan Perda dengan penjelasannya, penjelasan atas Perda tersebut dicatat dalam Tambahan Lembaran Daerah dan ditetapkan bersamaan dengan pengundangan Perda sebagaimana yang diundangkan di atas. Pejabat yang berwenang mengundangkan Perda tersebut adalah Sekretaris Daerah.
E. Mekanisme Pengawasan Perda
        Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bulan Desember 2005 ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
            Pembinaan dan pengawasan dimaksudkan agar kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan. Di samping Pemda merupakan sub
sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implicit pembinaan dan pengawasan terhadap Pemda merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan
negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka NKRI.
            Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 secara tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Menteri dan Pimpinan LPND melakukan pembinaan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang meliputi pemberian pedoman. Bimbingan, pelatihan, arahan dan pengawasan yang dikoordinasikan kepada Menteri Dalam Negeri. Pemerintah dapat melimpahkan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten di daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan.
            Pembinaan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap peraturan Kabupaten dan Kota dilaporkan kepada Presiden melalui Mendagri dengan tembusan kepada Departemen/Lembaga Pemerintahan Non Departemen terkait. Pengawasan Kebijakan Daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Pengawasan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dengan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000.
            Pengawasan dilakukan secara represif dengan memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada Pemda untuk menetapkan Perda baik yang bersifat limitatif maupun Perda lain berdasarkan kriteria yang ditetapkan Pemerintah. Karena tidak disertai dengan sanksi dalam kedua Undang-Undang tersebut, peluang ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk menetapkan Perda yang berkaitan dengan pendapatan dan membebani dunia usaha dengan tidak menyampaikan Perda dimaksud kepada Pemerintah Pusat.
                Berbeda dengan Pengawasan Kebijakan Daerah yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 79 Tahun 2005 dilakukan secara:
a.  Preventif, terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang menyangkut Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;
b. Represif, terhadap kebijakan berupa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah selain yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;
c. Fungsional, terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah;
d. Pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan daerah;
e. Pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah oleh masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
            Perda adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
            Beberapa  langkah yang perlu dilalui dalam menyusun suatu Perda baru.
·      Langkah 1 : Identifikasi isu dan masalah.
·      Langkah 2 : Identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana peraturan daerah (Perda) baru dapat memecahkan masalah.
·      Langkah 3 : Penyusunan Naskah Akademik.
·      Langkah 4 : Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah
a.    Proses Penyiapan Raperda di lingkungan DPRD.
b.    Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan Pemerintahan Daerah.
c.    Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD.
d.   Proses Pengesahan dan Pengundangan
e.    Lembaran Daerah dan Berita Daerah
·      Mekanisme Pengawasan Perda
B.  Saran
       Pemerintah dalam merancang dan membuat peraturan daerah hendaknya memperhatikan asas-asas pembuatan perda yang baik, serta sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Peraturan Daerah dibuat untuk menciptakan suasana pemerintahan yang baik dan teratur, bukan malah membuat masalah baru dalam masyarakat. Untuk itu keprofesionalan dan kearifan pemerintah sangatlah dibutuhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar